Oleh : Wahidul Halim (APBH LBH Yogyakarta
Secara definisi, paralegal dapat diartikan sebagai seseorang yang bukan Advokat, namun memiliki pengetahuan di bidang hukum, baik hukum materiil maupun hukum acara, dengan pengawasan atau organisasi bantuan hukum, yang berperan membantu masyarakat pencari keadilan. Paralegal bisa bekerja sendiri di komunitasnya atau bekerja untuk organisasi bantuan hukum atau firma hukum. (Lihat: Panduan Advokasi Paralegal LBH Jakarta, 2010).
Eksistensi Paralegal pertama kali tercantum Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Dalam Pasal 9 Undang-Undang Bantuan Hukum disebutkan “Pemberi Bantuan Hukum berhak melakukan rekrutmen terhadap pengacara, paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum”. Sementara itu, pasal 10 disebutkan “Pemberi Bantuan Hukum berkewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan Bantuan Hukum bagi advokat, paralegal, dosen, mahasiswa fakultas hukum.
Undang-undang bantuan hukum mengatur paralegal hanya secara general. Maka diperlukan aturan spesial yang memuat tentang paralegal seutuhnya. 7 tahun berselang paralegal menanti aturan itu. Baru pada tahun 2018, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mulai mengatur. Yakni dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Permenkumham) Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Paralegal dalam Pemberian Bantuan Hukum. Hal ini menjadi penanda negara sangat tidak responsif dan acuh terhadap Paralegal selama tujuh tahun.
Dua bulan disahkan, sejumlah advokat mengajukan judicial Review permenkumham paralegal. Mereka menganggap peraturan menteri tersebut bertentangan dengan undang-undang advokat. Mahkamah agung kemudian mengabulkan gugatan mereka yang mempermasalahkan tentang pasal 11 peran paralegal di litigasi. dilansir dari hukumonline.com, menurut Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah, uji materi itu dikabulkan agar ada pembatas wewenang antara paralegal dan advokat dalam memberikan pendampingan hukum di persidangan.
“Kalau advokat sama dengan paralegal, tanpa harus pendidikan bisa beracara, lalu apa bedanya? […] Seharusnya paralegal ini tak bisa bekerja sendiri, tapi [harus] atas tanggung jawab advokat,” ujar Abdullah di Pusat Pendidikan dan Pelatihan MA, Bogor, pada Selasa (17/7/2018).
Peraturan tentang paralegal dibatalkan dengan putusan mahkamah agung nomor 22 P/HUM/2018. Hal ini menandakan bahwa sudah tidak ada lagi peraturan yang secara teknis mengatur eksistensi paralegal dalam proses pemberian bantuan hukum. Padahal dalam perannya, paralegal cukup krusial untuk membangun tercapainya cita-cita negara sebagai negara hukum. Tetapi, dengan pembatalan seperti ini, negara telah mengkhianati perjuangan paralegal.
Saya mendengar cerita salah satu paralegal yang berada di dalam dampingan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Namanya Warisah, seorang perempuan yang memperjuangkan hak-hak pekerja di organisai Serikat Perempuan Pekerja Rumahan (SPPR). Organisasi tersebut menaungi para pekerja rumahan yang berjumlah sekitar 1.627 dari wilayah Kota Bantul, Sleman, Gunungkidul dan Kulonprogo. Warisah mengungkapkan masih banyak pekerja yang belum terdata.
Pekerja rumahan sampai saat ini belum diakui oleh pemerintah. Harusnya negara segera mengesahkan produk hukum tentang pekerja informal. Kata Warisah, profesinya sudah memuat unsur pekerja yakni terdapat pekerjaan, ada yang memberi kerja, ada yang bekerja dan ada upah. Dengan tidak segera diundangkan, menurut Warisah, perempuan-perempuan pekerja rumahan sangat rentan dan sangat minim sekali mendapatkan bantuan hukum.
Warisah baru mengenal bantuan hukum ketika menjadi paralegal LBH Yogyakarta. Pelatihan yang didapatkan setidaknya ia bisa gunakan untuk melindungi temen-temen di organisasinya. Namun keberadaannya sendiri sebagai pelindung organisasi masih sangat rentan. Sebab, belum ada aturan yang mendukung kerja-kerja paralegal dalam pemberian bantuan hukum.
Memblejeti Kecacatan Rapermenkumham
Dilansir dari website resmi Badan Pembina Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan Ham, pemerintah mulai melakukan Rancangan Permen yang telah dibatalkan MA. Dalam rancangan tersebut ada beberapa aspek yang menurut saya perlu dipertajam kembali.
Ketentuan dalam pasal 1, tidak memuat klausula penghormatan terhadap tugas, fungsi dan eksistensi Paralegal Pemberi Bantuan Hukum yang bersifat non litigasi. hal ini untuk menunjang peran paralegal dalam melakukan pemberian bantuan hukum. Paralegal selama ini belum populer di kalangan aparat penegak hukum semacam kepolisian, kejaksaan, peradilan maupun advokat. Sehingga beberapa cerita paralegal yang saya temui, terkadang para aparat penegak hukum itu sendiri yang menjadi penghambat.
Semisal dalam kasus penangkapan salah satu anggota komunitas paralegal oleh kepolisian. Paralegal yang membela masih dipertanyakan, apa itu paralegal. Sehingga tidak jarang dari mereka yang sudah berada di kantor polisi harus pulang begitu saja.
Sejalan dengan itu, Abdul Malik Akdom selaku Pengabdi Bantuan Hukum LBH Yogyakarta, mengutarakan, bahwa teman-teman paralegal mendapatkan ancaman intimidasi. “Kemudian banyak hal masih dipandang sebelah mata oleh aparat penegak hukum lainnya.” Tutur pria yang akrab disapa Gus Alek pada Senin, 02-02-2020, bertempat di kantor LBH Yogyakarta, saat konferensi pers untuk menanggapi rapermenkumham yang akan disahkan.
Oleh sebab itu, pencantuman peran dan fungsi paralegal harus dicantumkan dalam pasal 1. Mengutip Buku Penuntun Untuk Latihan Paralegal dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Para-legal dapat menjalankan fungsi antara lain, memfasilitasi pembentiukan organisasi rakya, mendidik dan melakukan penyadaran, melakukan analisis sosia, advokasi, membimbing, melakukan mediasi dan mendamaikan, bantuan hukuim, jaringan kerja, mendorong masyarakat mengajukan tuntutan-tuntutannya, dokumentasi, mengkonsep surat-surat dan membantu pengacara.
Dampak lain dari tidak memuat klausula pasal penghormatan terhadap Paralegal, menyebabkan keselamatan mereka terancam. Seorang Paralegal yang memperjuangkan lingkungannya dari kerusakan tambang didatangi oleh sejumlah preman. Ia bercerita, selama 3 kali berturut-turut dirinya diancam agar tidak bersuara tentang tambang di media. Bahkan kisahnya pernah dikejar-kejar dan sampai bersembunyi di suatu tempat.
Dalam Rapermenkumham, pada pasal 14 tentang pendanaan, tidak menyebutkan secara rinci apakah pendanaa untuk paralegal. Mengingat, jika iya, bentuknya seperti apa. Hal ini perlu diperinci kembali pada substansi pasal ini. Jika pendanaan turun melalui organisasi bantuan hukum, selama ini pendanaan yang digunakan hanya pada tataran litigasi.
Sementara, peran paralegal di litigasi saja masih ngeblur. Ketika membaca pasal 10 tentang paralegal dalam memberikan bantuan hukum belum diperinci dengan perannya seperti apa. Apakah paralegal hanya menjadi asisten dari advokat?. Atau, ia memiliki power yang sifatnya tidak mengekor, dengan keterlibatannya sejak pra pengadilan, pengadilan bahkan paska pengadilan terus terlibat. Dari pasal 10 terlihat sekali perspektif perancang permen ini memandang rendah paralegal.
Harusnya pendanaan dalam rapermenkumham juga mendukung peran paralegal di tataran non-litigasi. seperti memberikan prioritas anggaran penyelanggaran untuk pelaksanaan pelatihan peningkatan kompetensi paralegal, mekanisme pemberdayaan paralegal, sumber pendanaan untuk kerja-kerja paralegal serta pemberdayaan paralegal melalui organisasi pemberi bantuan hukum.
Sejak tulisan ini ada, kementerian hukum dan ham lewat web resminya sedang menanti masukkan untuk perbaikan rapermenkumham tentang paralegal. Sedikitnya lebihnya, pemerintah kementerian dapat membaca atas masukkan yang saya tulis. Tabik!.