Menilik Masalah Waria di Yogyakarta

Ditulis oleh Danang Kurnia Awami (APBH LBH Yogyakarta)

Waria seringkali menjadi objek sikap diskriminasi oleh beberapa oknum aparat penegak hukum. Hal tersebut juga dialami oleh beberapa waria di Yogyakarta. Berdasarkan kondisi yang dialami serta kepedulian mereka satu sama lain, mereka memunculkan ide pentingnya keberadaan tim advokasi. Sehingga, buah pikiran itu diwujudkan dengan rencana pembentukan Waria Crisis Centre (WCC). Yang mana, penggerak WCC ini tidak lain adalah perwakilan dari beberapa komunitas waria yang ada di Yogyakarta.

Waria Crisis Centre (WCC) dibentuk pada 23 Agustus 2019. Momentum tersebut diawali dengan agenda Sekolah Paralegal. Dua materi yang didiskusikan adalah pengantar bertemakan Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) serta Pendokumentasian Kasus. Kedua materi tersebut memunculkan beberapa masalah yang dihadapi oleh waria. Disebabkan sifatnya adalah materi pengantar, maka pembahasan masalah tidak sampai mendalam ataupun memunculkan sikap bersama secara kongkrit. lantas, rekomendasinya adalah mengadakan diskusi lanjutan untuk memperdalam masalah sekaligus mencari jalan memecahkan masalahnya.

Rekomendasi pertemuan ditindaklanjuti pada tanggal 19 Oktober 2019. Pertemuan ini sebagai ajang pembacaan lebih dalam internal dan eksternal organisasi dengan dibantu model analisis What, Who, When, Where, Why, dan How (5W+1H) serta Strenght (kekuatan), Weakness (kelemahan), Oppurtunity (peluang), dan Treath (tantangan) atau seringkali disebut SWOT. Harapan terbaca peta kasus dan aktor di masalah yang ada serta terbaca kebutuhan organisasi ke depan.

Menengok Kasus yang Menimpa Mereka

Ketika diskusi sudah dijalankan, persoalan yang sering ditemui adalah sikap diskriminasi dari beberapa pihak. Ada kasus seperti pengusiran terhadap teman-teman waria dari tempat tinggalnya oleh masyarakat sekitar. Hal itu dilakukan atas dasar mereka dicap buruk bagi lingkungan sekitar, ditambah dengan menyebut-nyebut mereka dengan istilah banci disertai perilaku yang mengejek. Padahal, sebelumnya mereka diterima saja oleh tetua setempat. Kondisi terjadi ketika paska rapat desa.

Selain itu, ada pula kejadian dengan beberapa agenda yang diselenggarakan oleh teman-teman waria dibubarkan. Aparat atau ormas reaksioner terkadang terlibat dalam pembubaran agenda ini tanpa alasan yang jelas. Jika kita melihat agendanya, acara dalam agenda tersebut hanya sekedar makan-makan atau sarasehan biasa.

Kasus lain yang ada keterlibatan oknum aparat adalah teguran tanpa berdasar pada fakta dan kurang berkenan. Seringkali perlakuan tidak menyenangkan didapatkan beberapa waria yang sekedar berjalan-jalan ataupun menyebrang jalan. Mereka ditegur untuk tidak mengamen di sana. Teguran itu dibarengi menyebut mereka dengan istilah banci dengan nada yang tak mengenakkan.

Perlakuan tidak menyenangkan juga tak jarang menimpa mereka saat di camp assessment. Mereka yang seharusnya mendapatkan pembinaan malah pembiaran atau ancaman. Ada sebagian dari mereka yang tertangkap diancami digunduli, bahkan menerima pelecehan dari oknum petugas.

Kontradiksi Aktor Penegakan Hak Asasi Manusia

Dari cerita di atas, kita melihat sikap-sikap diskriminatif, bahkan sampai pada ranah intimidatif terjadi di tatanan struktur yang paling bawah hingga ke atas. Aparat yang seharusnya tidak tercemar dengan sikap seperti itu justru beberapa oknum terlihat keterlibatannya. Hal itu bisa dikatakan sangat bertolak belakang dengan khittah aparat sebagai salah satu unsur pemangku kewajiban.

Seringkali disebutkan dalam kajian-kajian HAM, bahwa Negara memiliki peran penting sebagai pemangku kewajiban dan pertanggungjawaban terjadap terpenuhi HAM. Pernyataan tersebut dapat kita temui dalam pelatihan dasar Kem. Di sana diterangkan tentang tiga komponen negara yang terdiri dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif wajib melaksanakan penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan HAM. Hal itu diperkuat dengan Undan-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28I ayat (4) serta Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam Pasal 8 yang menyebutkan “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”. Dengan demikian, aparat memiliki tanggung jawab mengenai pemenuhan HAM.

Jika beberapa unsur Negara memiliki andil sebagai pelaku dalam permasalahan HAM, lantas bagaimana masa depan warga negaranya berkaitan dengan hak pemenuhan HAM itu sendiri? Kasus-kasus yang menimpa waria merupakan salah satu contoh persoalan HAM yang ada kaitannya dengan oknum pemerintah. Banyak kemungkinan keterlibatan oknum negara dalam pelanggaran HAM di luar sana. Ada kemungkinan pula terjadi di sekitar kita, bahkan di kehidupan sehari-hari kita sebagai warga negara. Maka dari itu, waspadalah, banyak potensi pelanggaran HAM di sekitar kita, baik dilakukan oleh pemerintah atau warga negara. Percayalah, negara sedang tidak baik-baik saja.